Tiada satu patah katapun yang
kita ucapkan luput dari pendengaran Allah. Tiada satu patah katapun yang
diucapkan kecuali pasti memakan waktu. Tiada satu patah katapun yang kita
ucapkan kecuali dengan sangat pasti harus kita pertanggungjawabkan di hadapan Allah
SWT. Maka, sebaik-baik dan seberuntung-beruntungnya manusia adalah orang yang
sangat mampu memperhitungkan dan memperhatikan setiap kata yang diucapkannya.
Sungguh, alangkah sangat beruntungnya orang yang menahan setiap kata-kata yang
diucapkannya, alangkah sangat beruntungnya orang yang menahan diri dari
kesia-siaan berkata dan menggantinya dengan berdzikir kepada Allah.
Berkata sia-sia membuang waktu
sedangkan berpikir membuka pintu hikmah. Maka, alangkah beruntungnya orang yang
kuasa menahan lisannya dan menggantinya dengan berdzikir. Berkata sia-sia
mengundang bala, berdzikir kepada Allah mengundang rakhmat. Rasulullah SAW
bersabda, "Setiap ucapan Bani Adam itu membahayakan dirinya (tidak memberi
manfaat), kecuali kata-kata berupa amar ma'ruf dan nahi munkar serta berdzikir
kepada Allah azza wa Jalla (HR. Turmudzi).
Setiap manusia diberi modal oleh
Allah dalam mengarungi kehidupan ini. Modalnya adalah waktu, dan
seberuntung-beruntungnya manusia adalah orang yang memanfaatkan waktunya untuk
keuntungan dunia dan akhiratnya, sedangkan sebodoh-bodohnya manusia adalah
orang yang menghambur-hamburkan modalnya (waktu) tanpa guna.
Setiap kali kita berbicara pasti
menggunakan modal kita, yaitu waktu. Maka, sebenarnya kemuliaan dan kehormatan
itu dapat dilihat dari apa yang diucapkannya. Allah SWT berfirman :
"Amat sangat beruntung,
bahagia, sukses, orang yang khusu' dalam sholatnya, dan orang yang berjuang
dengan sungguh-sungguh menahan diri dari perbuatan dan perkataan sia-sia."
(QS Al Mu'minun 23: 1- 3), subhanallah.
Sahabat-sahabat sekalian, salah
satu ciri martabat keislaman seseorang itu bisa dilihat dari bagaimana ia
berjuang keras untuk menhindarkan dirinya dari kesia-siaan. Maka semakin kita
larut dalam kesia-siaan maka, akan semakin tampak keburukan martabat keislaman
kita dan semakin akrab dengan bala bencana, yang selanjutnya hati pun akan
keras membatu dan akan lalai dari kebenaran. Rasulullah sendiri dengan tegas
melarang kita banyak bicara yang sia-sia.
"Janganlah kamu sekalian memperbanyak bicara selain berdzikir kepada Allah, sesungguhnya memperbanyak perkataan tanpa dzikir kepada Allah akan mengeraskan hari, dan sejauh-jauh manusia adalah yang hatinya keras." (HR. Turmudji)
"Janganlah kamu sekalian memperbanyak bicara selain berdzikir kepada Allah, sesungguhnya memperbanyak perkataan tanpa dzikir kepada Allah akan mengeraskan hari, dan sejauh-jauh manusia adalah yang hatinya keras." (HR. Turmudji)
Kita lihat banyak orang berbicara
tapi ternyata tidak mulia dengan kata-katanya. Banyak orang berkata tanpa bisa
menjaga diri, padahal kata-kata yang terucapkan harus selalu
dipertanggung-jawabkan, yang siapa tahu akan menyeretnya ke dalam kesulitan.
Sebelum berkata, kita yang menawan kata-kata, tapi sesudah kata terucapkan
kitalah yang ditawan kata-kata kita.
Rasulullah bersabda : "
Barangsiapa memperbanyak perkataan, maka akan jatuh dirinya. Maka barangsiapa
jatuh dirinya, maka akan banyak dosanya. Barangsiapa banyak dosanya, maka
nerakalah tempatnya". (HR. Abu Hatim).
Dari Sahl bin Sa'ad as Saidi, dia
berkata:
"Barang siapa menjamin
bagiku apa yang ada diantara dua tulang rahangnya (lidah) dan yang ada diantara
kedua kakinya (kemaluan), niscaya akan aku jamin surga baginya."(HR.
Bukhari).
Dalam hadits lain Rasulullah
bersabada;
"Barangsiap menjaga dari
kejahatan qabqabnya, dzabdzabnya, dan laglagnya, niscaya ia akan terjaga dari
kejahatan seluruhnya."(HR. Ad Dailami) Yang dimaksud qabqab adalah perut,
Dzaabdzab adalah kemaluan, dan Laqlaq adalah lidah.
Maka tampaknya adalah menjadi
wajib bagi siapapun yang ingin membersihkan hatinya, mengangkat derajatnya
dalam pandangan Allah Ajjaa Wa Jallaa, ingin hidup lebih ringan terhindar dari
bala bencana, untuk bersungguh-sungguh menjaga lisannya. Aktivitas berbicara
bukanlah perkara panjang atau pendeknya, tapi berbicara adalah perkara yang
harus dipertanggungjawabkan dihadapan-Nya.
Ada sebuah kisah, suatu waktu ada
seseorang bertanya tentang suatu tempat yang ternyata tempat tersebut adalah
tempat mangkal "wanita tuna susila". "Dimana sih tempat x
?" Lalu si orang yang ditanya menunjuk ke arah suatu tempat dan hanya
dengan "Tuh !", lalu si penanya datang ke sana dan naudzubillah dia
berbuat maksiat, di pulang, lalu dia sebarkan lagi kepada teman-temannya, lalu
berbondong-bondong orang ke sana, berganti hari, minggu, dan tahun. Maka setiap
ada orang yang bermaksiat di sana, orang yang menunjukkan itu memikul dosanya,
padahal dia hanya berkata : "Tuh !", cuman tiga huruf. Setiap hari
orang berzina di sana, maka pikul tuh dosanya, karena dia telah memberi jalan
bagi orang lain untuk bermaksiat dengan menunjukkan tempatnya.
Jadi waspada, dengan lidah,
menggerakkannya memang mudah, tidap perlu pakai tenaga besar, tidak perlu pakai
biaya mahal, tapi bencana bisa datang kepada kita. Berbicara itu baik, tapi
diam jauh lebih bermutu. Dan ada yang lebih hebat dari diam, yaitu BERKATA
BENAR.
"Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hendaklah ia berkata yang baik atau diam !" (HR. Bukhari Muslim).
"Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hendaklah ia berkata yang baik atau diam !" (HR. Bukhari Muslim).
Sebab lisanlah yang banyak
memasukkan kita ke neraka. Rasulullah bersabda :
"Kebanyakan yang memasukkan ke neraka adalah dua lobang, yaitu : mulut dan fardji (kemaluan)" (HR Turmudji dan Imam Ahmad). Sedangkan Imam Hasan berkata bahwa, "Tidak akan berarti agama seseorang bagi orang yang tidak menjaga lisannya".
"Kebanyakan yang memasukkan ke neraka adalah dua lobang, yaitu : mulut dan fardji (kemaluan)" (HR Turmudji dan Imam Ahmad). Sedangkan Imam Hasan berkata bahwa, "Tidak akan berarti agama seseorang bagi orang yang tidak menjaga lisannya".
: bahwa melanjutkan, Beliau
"Baiknya Islam seseorang adalah dengan meninggalkan sesuatu yang tidak
bermanfaat baginya". Untuk dapat menjaga lisan menjadi terjaga dan
bermutu, ada empat syaratnya, yaitu :
1. Berkatalah dengan Perkataan
yang Benar
Kalau kita ingin berbicara dengan
benar, maka pastikan bahwa pembicaraan kita bersih dari bohong, bersih dari
dusta. Kata-kata kita ini harus benar-benar dapat dipertanggungjawabkan
kebenarannya. Jangan pernah mau berkata apapun yang kita sendiri tidak yakin
dengan apa yang kita katakan. Jangan berusaha berkata-kata semata-mata agar
orang terkesima, terpesona, suka, karena semuanya tidak akan menolong kita.
Perkataan kita yakin dengan seyakin-yakinnya haruslah dapat dipertanggungjawabkan.
Bohong, dusta, sama sekali tidak
akan menolong diri kita ini, karena kedustaan mutlak diketahui oleh Alloh dan
sangat mudah bagi ALlah membeberkan segala kebohongan dan kedustaan kita.
Dusta tidak akan mengangkat
derajat, bahkan sebaliknya kalau Allah membeberkan kebohongan kita, kedustaan
kita, maka, kita akan menjadi orang yang tidak berharga sedikitpun. Untuk dapat
orang percaya pada kita tidak bisa dibeli dengan uang, tidak bisa dibayar
dengan harta, sekali tampak bahwa kita pendusta, pembohong, tukang tipu, maka
akan butuh waktu yang sangat lama untuk mengembalikan kepercayaan orang pada
kita.
Dusta, bohong, hanya membuat
hidup jadi sempit. Camkan, bahwa semakin banyak kita berbohong, semakin sering
kita berdusta, maka kita telah membuat penjara, yang membuat kita selau takut
dusta kita terbuka, bahkan selanjutnya kita akan berusaha untuk membuat dusta
baru, bohong baru untuk menutupi kebohongan yang telah kita lakukan.
Beranilah hidup tampil dengan apa
adanya, biarlah kita tampil begini adanya. Kenapa harus berdusta, lebih baik
kita tidak diterima, karena kita sudah mengatakan apa adanya daripada kita
diterima karena mendustainya. Jangan berat untuk tampil apa adanya. Daripada
kita sibuk merekayasa agar rekayasa kata, sangat pasti tidak akan menolong
sedikitpun "yu izzumantasyaa wa tudzillu man tasya" Yang mengangkat
derajat bukan kebohongan, bukan rekayasa kita, tapi Allah saja, dan sebaliknya
yang menghinakan juga Allah.
Cegahlah dusta walau sekecil
apapun, kecuali tentunya bohong yang dibenarkan oleh syariat. Misalnya, bohong
dalam rangka bersiasat kepada musuh, bohong ringan dengan maksud untuk
mendamaikan orang-orang yang bersengketa demi kebaikan. Bohong istri kepada
suami atau sebaliknya dengan maksud untuk menyembunyikan kejelekan, bohong
untuk membahagiakan dengan cara yang sah dan benar, tetapi bukan bohong untuk
menyembunyikan aib dan kesalahan.
Sahabat-sahabat sekalian,
Berpikirlah sebelum berbicara. Jangan pernah biarkan terlontar dari lisan ini
sesuatu yang kita sendiri meragukannya. Apalagi dengan sengaja kita berkata
dusta, naudzubillah. Demi Allah, Allah Maha Mendengar, tahu persis segala nita
di balik kata yang kita ucapkan. Kedustaan kita hanya masalah waktu saja bagi
Allah untuk membeberkannya, walau mati-matian kita menutupinya. Maka, pastikan
setiap pembicaraan kita untuk tidak ada dusta, walau sedikitpun.
Firman-Nya,
"Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kamu kepada Allah dan berkatalah dengan perkataan yang benar". (QS Al Baqarah:263) Cukuplah ayat ini sebagai dalil bagi hamba-hamba-Nya untuk selalu menyampaikan kebenaran.
"Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kamu kepada Allah dan berkatalah dengan perkataan yang benar". (QS Al Baqarah:263) Cukuplah ayat ini sebagai dalil bagi hamba-hamba-Nya untuk selalu menyampaikan kebenaran.
Selalulah mohon kepada Allah agar
lisan ini dituntun dan dilindungi sehingga terhindar dari perkataan yang tidak
benar.
2. Berkatalah sesuai tempatnya
"Liqulli maqaam maqaal
walikulli maqaal maqaam" Artinya, "Tiap perkataan itu ada tempat
terbaik dan setiap tempat memiliki perkataan (yang terucap) yang terbaik
pula."
Tidak setiap kata sesuai di
setiap tempat, sebaliknya tidak setiap tempat sesuai dengan perkataan yang
dibutuhkan. Hati-hati sebelum kita bicara, harus kita ukur siapa yang diajak
bicara. Berbicara dengan anak kecil tentu akan jauh beda dengan ketika
berbicara dengan orang tua. Berbicara dengan remaja tentu akan jauh beda dengan
ketika berbicara dengan guru kita. Orang yang tidak terampil untuk membaca
situasi, walau niatnya benar, hasilnya bisa jadi kurang benar.
Lihatlah misalnya, ketika kita berbincang
dengan ponakan yang masih kecil, betapa kita akan berusaha menyesuaikan diri
dengan dunianya, gerakan tangan kita, raut muka kita. Hal ini karena dia tidak
akan mengerti kalau kita menggunakan gaya bahasa orang tua. Tapi tidak mungkin
kita memperlakukan guru kita dengan cara yang sama seperti kala kita berbicara
kepada keponakan kita.
Oleh karena itu, niat untuk
berdakwah dengan mengetahui dalil-dalil Quran, memahami dan mengetahui banyak
hadist, belumlah cukup. Sebab kalau kita berbicara tanpa cara yang tepat,
misalnya dengan mengobral dalil, menunjukkan banyaknya hafalan saja, tidaklah
cukup.
Dalam situasi orang berkumpul
pasti punya kondisi mental yang berbeda, ada orang yang sedang gembira, yang
tentu saja akan berbeda daya tangkapnya dengan yang sedang nestapa. Ada orang
yang sedang menikmati kesuksesannya, dan tentu saja akan berbeda dengan orang
yang sedang dilanda masalah dalam hidupnya. Oleh karena itu orang yang sehat
berbeda kemampuan menangkap idenya, dengan orang yang sedang sakit, orang yang
sedang segar bugar, ceria berbeda kemampuan memahaminya dengan orang sudah
letih lahir batinnya. Maka seseorang pembicara terbaik tidak cukup hanya
berbica benar, tapi juga harus sangat bisa memilih situasi kapan dia berbicara.
Mengapa banyak nasehat orang tua
yang tidak didengar oleh anaknya yang masih remaja? Saya khawatir orang tua
merasa benar dengan apa yang dikatakannya, tapi tidak benar dalam membaca
situasi dan kondisi remaja yang sedang diajak bicara, yang notabene kondisinya
sedang labil. Memang aneh kita ini ketika anak masih kecil, orang tua akan
berusaha beraktivitas, bersikap, dan berbicara agar dapat dipahami oleh si
kecil, tetapi menjelang remaja, pada saat perpindahan usia, perpindahan masa,
ia tidak berusaha beradaptasi dengan kondisi anaknya. maka disinilah kita perlu
ilmu. Sebab dengan ilmu yang memadai setiap orang dapat berwibawa di depan
anak-anaknya.
Subhaanallah,
Ada banyak cara dalam berkomunikasi, dan berbahagialah jikalau kita diberi keterampilan oleh Allah untuk berbicara sesuai dengan kondisi dan tempatnya. Kita berdialog dengan petani, tentu saja berbeda dialognya dengan seorang eksekutif. Berada di lingkungan santri yang fasih bahasa Arab, tentu saja berbeda kalau kita harus berdialog dengan orang di pasar yang tidak mengerti bahasa Arab. Seorang pendakwah misalnya, kalau orangnya tidak arif, ia akan sibuk mengobral dalil, mengobral kata-kata, walau tentu saja tidak semuanya salah, tapi apalah artinya jika kita meletakkan sesuatu tidak sesuai tempatnya.
Ada banyak cara dalam berkomunikasi, dan berbahagialah jikalau kita diberi keterampilan oleh Allah untuk berbicara sesuai dengan kondisi dan tempatnya. Kita berdialog dengan petani, tentu saja berbeda dialognya dengan seorang eksekutif. Berada di lingkungan santri yang fasih bahasa Arab, tentu saja berbeda kalau kita harus berdialog dengan orang di pasar yang tidak mengerti bahasa Arab. Seorang pendakwah misalnya, kalau orangnya tidak arif, ia akan sibuk mengobral dalil, mengobral kata-kata, walau tentu saja tidak semuanya salah, tapi apalah artinya jika kita meletakkan sesuatu tidak sesuai tempatnya.
Pernah terjadi suatu ketika Umar
bin Khathab bertemu dengan Abu Hurairah, "Mau pergi kemana engkau, hei Abu
Hurairah?" Tanya Umar "Aku mau ke pasar, akan aku umumkan apa yang
kudengar dari Rasulullah SAW," Jawab Abu Hurairah. "Apa kata Beliau
?", Umar bertanya lagi "Setiap orang yang mengucapkan Laa Ilaaha
Illallah, maka dakhalal Jannah, akan masuk Surga". "Tunggu dulu,
wahai sahabat", cegah Umar. Umar bin Khathab pun kemudian pergi menemui
Rasulullah. "Yaa Rasulullah, apakah benar engkau bersabda demikian
(sebagaimana yang disampaikan oleh Abu Hurairah)?" Tanyanya. Dan Rasul pun
meng-iya-kan. "Tetapi, Yaa Rasul, saya keberatan kalau sabdamu itu
disebarkan kepada sembarang orang karena dikuatirkan akan salah dalam
menafsirkannya."
Mendengar keberatan Umar itu,
Rasul tercenung, lalu sesaat kemudian bersabda, "Yaa, aku setuju dengan
pendapatmu". Abu Hurairah pun lalu dilarang untuk mengumumkannya di pasar.
Demikianlah, perkataannya benar, sesuai dengan kenyataan. Akan tetapi, karena dikuatirkan akan salah penafsiran orang yang mendengarnya, karena diucapkan tidak pada tempatnya.
3). Jagalah Kehalusan Tutur Kata
Demikianlah, perkataannya benar, sesuai dengan kenyataan. Akan tetapi, karena dikuatirkan akan salah penafsiran orang yang mendengarnya, karena diucapkan tidak pada tempatnya.
3). Jagalah Kehalusan Tutur Kata
Orang yang lisannya bermutu
haruslah berkemampuan memperhalus dan menjaga kata-katanya tidak menjadi duri
atau tidak bagai pisau silet yang siap melukai orang lain. Betapa banyak
kata-kata yang keluar yang rasa-rasanya ketika mengeluarkannya begitu gampang,
begitu enak, tapi yang mendengar malah sebaliknya, hatinya tercabik-cabik,
tersayat-sayat perasaannya, begitu perih dan luka tertancap dihatinya. Seakan
memberi nasehat, tapi bagi yang mendengar apakah merasa dinasehati atau malah
merasa dizhalimi.
Hati-hati, ibu kepada anak, suami
kepada istri, istri kepada suami, guru kepad murid, atasan kepada bawahan.
Kadang kelihatannya seperti sedang memberi nasehat tetapi sesungguhnya kalau
tidak hati-hati dalam memilih kata, justru kita sedang mengumbar duri-duri
pisau 'cutter' yang tajam mengiris.
Rasulullah bersabda, "Jiwa
seorang mukmin bukanlah pencela, pengutuk, pembuat perbuatan keji dan berlidah
kotor" (HR. Turmudji dan Ibnu Mas'ud).
Bahkan bagi orang kafir
sekalipun, Nabi melarang mencelanya. Dikisahkan bahwa ketika beberapa orang
kafir terbunuh dalam perang Badar, Nabi bersabda :
"Janganlah kamu memaki
mereka, dari apa yang kamu katakan, dan kamu menyakiti orang-orang yang hidup.
Ketahuilah bahwa kekotoran lidah itu tercela" (HR. An Nasai)
Sahabat-sahabat kalau kita
berbuat salah, kita begitu rindu orang lain bersifat bijak kepada kita dengan
memberi maaf. Kala kita tak sengaja memecahkan piring atau melakukan kesalahan
sehingga TV rusak atau kita naik motor agak lalai sehingga menabrak atau masuk
got. Maka apa yang kita inginkan ? Yang kita inginkan dari orang lain adalah
dia dapat bijaksana kepada kita. "Innaalillaahi wa innaailaihi
raaji'uun" "Lain kali lebih hati-hati, jadikan ini pelajaran yang
baik, bertaubatlah". Demikian kata-kata bijak yang kita harapkan. Sebab
sangat pasti akan selalu ada kesempatan kita untuk berbuat kesalahan.
Dikala itu, jika orang menyikapi
dengan baik, kita diberi semangat untuk bertaubat, semangat untuk
mempertanggungjawabkan, kita tidak dicela, kita tidak dipermalukan, maka yang
terjadi adalah semangat kita untuk mempertanggungjawabkannya menjadi lebih
besar.
Bandingkan dengan kalau kita
melakukan suatu kesalahan, lalu orang lain marah kepada kita, "Diam
disini, ini perhatikan ! Dasar anak dungu, tidak hati-hati, begitu sering
membuat kesalahan, kemarin ini, sekarang itu. Ini adalah kelakuan yang sangat
menyebalkan, dia pengacau di tempat kita, dia adalah orang yang paling merugikan".
Bayangkan perasaan kita, yang terjadi adalah merasa dipermalukan, merasa
dicabik-cabik, merasa dihantam, merasa diremukkan, harga diri kita benar-benar
diinjak-injak. Saya kira kata-kata itu tidak akan masuk ke dalam kalbu, kecuali
dendam yang akan merasuk.
Diriwayatkan bahwa suatu waktu,
seorang Arab Badwi bertemu Rasulullah SAW, dan Rasulullah berkata :
"Engkau harus bertakwa kepada Allah, Jika seseorang membikin malu padamu,
dengan sesuatu yang diketahuinya padamu, maka janganlah memberi malu dia dengan
sesuatu yang engkau ketahui padanya. Niscaya akan celaka padanya dan pahalanya
padamu. Dan janganlah engkau memaki sesuatu !" (HR. Bukhari-Muslim)
Dalam Hadist lain Rasulullah SAW
bersabda, "Bahwa yang pertama-tama diberitahukan Tuhan kepadaku dan dilarang
aku daripadanya sesudah penyembahan berhala dan minum khamar, ialah mencaci
orang". (HR. Ibu Abi Dunya).
Sungguh kalau kita tidak suka
dipermalukan, tidak suka disakiti, tidak suka direndahkan, mengapa kata-kata
kita sering mempermalukan, merendahkan, menghinakan orang lain? Padahal,
sebaik-baiknya kata adalah yang mengoreksi, yang dapat meraba perasaan diri
sendiri dan orang lain kalau misalnya kita diperlakukan seperti itu. "Duh,
dengan kata-kata ini dia terluka atau tidak, dengan kata-kata ini dia tersakiti
atau tidak ?"
Manfaat tidak kalau misalnya ada
yang shaum, lalu ditanya shaum atau tidak, makin kita tanya, "Saudara
shaum atau tidak?" Padahal dia sedang berusaha menyembunyikan amalnya,
terpaksa harus bicara. Kalau menjawab "Ya, Saya Shaum", terbersit
peluang untuk riya. Kalau menjawab, "Tidak", jadi dosa karena
berdusta. Kalau diam saja takut disangka sombong. Maka, kita telah menyusahkan
orang gara-gara pertanyaan kita.
Saudara-saudara sekalian,
sudahlah jangan banyak tanya yang kira-kira tidak bermanfaat bahkan menjadi
beban bagi yang ditanya. Jangan pernah berkata yang membuat orang lain jadi
susah, kita juga tidak mau disusahkan oleh perkataan orang lain. Kalau disuruh
memilih, mending diajak bicara yang kasar atau yang halus ? Tentu kita akan
memilih berbicara dengan bahasa yang halus.
Firmannya, "Hai orang-orang
yang beriman! Janganlah segolongan laki-laki menghina segolongan yang lain,
boleh jadi (mereka yang dihina itu) lebih baik dari mereka (yang menghina). Dan
janganlah segolongan perempuan (menghina) golongan perempuan yang lainnya,
boleh jadi (yang dihina) lebih baik dari mereka (yang menghina)." (QS. Al
Hujurat 49:11).
Rasulullah juga bersabda,
Rasulullah juga bersabda,
"Demi Allah Aku tidak suka
menceritakan tentang seseorang". (HR. Abu Daud dan Turmudji). Jangan pula
menasehatkan apa yang tidak pernah kita lakukan, sebab firman-Nya: "Hai,
orang-orang yang beriman, mengapa engkau berkata-kata sesuatu yang tidak engkau
perbuat. Sesungguhnya amat besar kemurkaan Allah terhadap orang yang berkata tapi
tidak melakukannya." (QS. Ash Shaff 61: 2-3)
Maka, mulai sekarang, jagalah
lisan kita, banyaklah berbuat daripada berkata, atau banyaklah berkata dengan
perbuatan daripada banyak berkata tanpa ada perbuatan. Kita tidak akan terhormat
oleh banyak berbicara sia-sia, kehormatan kita adalah dengan berkata benar atau
diam.
Gelas yang kosong hanya diisi dengan air, tapi mata air yang melimpah airnya bisa mengisi wadah apapun. Artinya, orang yang kosong harga dirinya hanya ingin dihargai, tapi orang yang melimpah harga dirinya akan senang menghargai orang lain.
Gelas yang kosong hanya diisi dengan air, tapi mata air yang melimpah airnya bisa mengisi wadah apapun. Artinya, orang yang kosong harga dirinya hanya ingin dihargai, tapi orang yang melimpah harga dirinya akan senang menghargai orang lain.
Pastikan gaya bicara kita jangan
merendahkan orang lain, karena diri kita ingin dihargai, hal itu justru
menunjukkan kerendahan diri kita. Karena mulut itu bagai moncong teko, hanya
mengeluarkan isi teko, di dalam kopi keluar kopi, di dalam teh keluar teh, di
dalam bening keluar bening. Maka berbahagialah bagi yang ucapannya keluar dari
mulutnya bagai untaian kalung mutiara, yang niscaya ia akan merasakan betapa
indah dan berkilau indahnya. Kalau pembicaraan bagai untaian perhiasan
harganya, insyaallah hatinya akan berharga pula. Tapi kalau mulutnya bagai
keranjang sampah tumpah, maka hatinya akan tak jauh pula.
Untuk dapat menjaga lisan menjadi
terjaga dan bermutu, ada empat syaratnya yaitu:
1. Berkatalah dengan perkataan
yang benar
2. Berkatalah sesuai tempatnya
3. Jagalah kehalusan tutur kata
4. Berkatalah yang bermanfaat
Pastikan setiap kata-kata yang
keluar dari mulut kita itu full manfaat. Rasulullah bersabda, "Diantara
tanda kebaikan akhlak manusia muslim adalah meninggalkan apa yang tidak
perlu" (HR. Turmudji).
Dalam riwayat lain disebutkan
bahwa, Nabi SAQ kehilangan Ka'ab bin Ajrah. Lalu beliau tanyakan kemana Ka'ab
sekarang. Mereka menjawab: "Beliau sakit, yaa Rasulullah". Lalu Nabi
keluar berjalan, sehingga sampai pada Ka'ab, Lalu beliau bersabda :
"Gembiralah wahai Ka'ab", Lalu Nabi bertanya : "Siapakah wanita
yang bersumpah ini kepada Allah ?" Ka'ab menjawab : "Ibuku, wahai
Rasulullah" Lalu Nabi menyahut : "Apakah yang diberitahukan kepada
engkau wahai Ummu Ka'ab ?" Ibunya Ka'ab menjawab : "Mungkin Ka'ab
berkata perkataan yang tidak perlu atau tidak berkata yang diperlukan".
(HR. Ibnu Abi Dunya)
Maka, satu-satunya pilihan adalah
berkata yang penuh manfaat. Ketika tiba-tiba hujan, "Huuh, hujan !"
Lho, apa untungnya berkata begitu, apa dengan berkata begitu hujannya jadi
berhenti ? Tidak kan...? Hujan adalah pekerjaan Allah, suka-suka Allah mau
ngasih hujan atau tidak, yang pasti setiap perbuatan Allah itu bermanfaat buat
orang beriman. Apa salahnya Allah menurunkan hujan, dulu waktu kemarau panjang
mengeluh, di kasih hujan masih mengeluh juga.
Suatu ketika pernah duduk dengan
seorang ulama yang terpelihara, "Aduh, jam tangan ketinggalan !"
Tiba-tiba saya ingat, bahwa jam saya ketinggalan. "Kenapa pakai aduh ?
Lebih bermanfaat kalau mengucapkan innaalillaahi, lupa nih ketinggalan jam,
mudah-mudahan dapat diambil di waktu yang tepat".
Sahabat-sahabat sekalian, jangan
bunyi kecuali yang bermanfaat. Jangan pula mencela perbuatan Allah. Panas,
dingin, hujan atau kemarau, dengan panas yang membakar sekalipun, jangan
mencela. Atau tiba-tiba petir mengelegar, kenapa menjerit ....?
Bukannya malah menyebut nama
Allah. Atau tiba-tiba menginjak bangkai, "Hiii bangkai anjing sialan
!" Kenapa harus mencaci, tidak usah mencela, beristighfarlah, sebab Allah
memberikan kejadian, sangat pasti ada hikmahnya.
4. Berkatalah yang Bermanfaat
Dikisahkan bahwa suatu waktu Nabi
Isa, as, melihat bangkai seekor anjing, ketika sahabat-sahabatnya berpaling
karena jijik, maka Nabi Isa justru melihat susunan gigi putihnya yang tertata
indah, "Anjing itu giginya rapi sekali yaa...!", Teman-temannya
keheranan. "Yaa, Rabbii (Guru), kenapa Paduka berkata begitu, bangkai
anjing itu kan sangat menjijikkan. Bahkan Paduka sendiri kalau dihina, dicaci,
diremehkan dengan kata-kata jelek, kata-kata Tuan selalu baik ?"
Nabi Isa Menjawab: "Karena
setiap orang memang akan mengeluarkan apa yang dimilikinya. Kalau pikiran dan
perasaannya jelek, maka yang keluar adalah yang jelek-jelek juga",
Demikian jawabnya. Makin banyak kepeleset lidah, makin banyak masalah dan
dosanya, makin banyak dosa, nerakalah tempatnya. Maka, "Fal yakul khairan
au liyasmut", "Berkatalah yang benar atau diam", Demikian Sabda
Nabi. Jangan sekali-kali mencela makanan yang sudah tersaji di depan mata.
"Huuh, ini mah terlalu asin !" Kalau nggak suka kasikan kepada
makhluk lain yang lebih membutuhkan. Ada makanan terlalu dingin, yaa hangatkan
! Jangan mengeluh, jangan mencela. Sebab sudah dikasih makan saja oleh Allah
sudah untung.
Mencela atau mengutuk bukanlah
akhlak seorang muslim. Rasulullah bersabda, "Orang Mukmin itu bukan type
pengutuk" (HR. Turmudji). Dalam Hadits lain Nabi SAW bersabda,
"Janganlah Kamu kutuk-mengutuk dengan kutukan ALLAH, dengan kemarahan-NYa,
dan dengan neraka Jahannam". (HR. Abu Dawud dan Turmudji)
Pernah suatu waktu ketika di
tanah suci, ada seorang jemaah haji ikhwan yang suatu waktu ia mendapat jatah
makanannya dingin dan keras. Maka, mengeluhlah dia, "Huuh, susah di Arab
ini, masa nasi aja sebegini keras." Gerutunya tanpa henti. Seseorang
kemudian menasehatinya, "Pak, kalau Bapak semakin mengeluh, mencela, Bapak
akan semakin sengsara, menderita. Karena yang memberi makan adalah ALLAH, ada
kalanya Allah menguji dengan makanan yang enak dan lezat, ada kalanya pula
Allah menguji dengan makanan yang tidak enak atau mungkin dengan makanan yang
sudah basi. Kenapa ketika sekali ini makanan kita tidak enak, lalu kita sibuk
mencaci, mencela, yang tidak akan menyelesaikan masalah, bahkan justru
mengundang murka Allah "
Padahal di Mekkah lamanya 40
hari, 40 x 3 = 120 kali, dan makan yang enggak enak ini cuma satu kali, maka tidak
adik dia, zhalim dia. Sahabat-sahabat sekalian berhentilah mencela. Lihat orang
berbibir tebal, sudahlah jangan mencela, toh bibik kita dan bibir dia, ALLAH
juga yang menciptakan. Seseorang yang matanya sipit, tidak berarti kita harus
mengatakan "betapa sempitnya dunia bagi dia". Dia sama sekali tidak
memiliki matanya, Allah-lah yang menciptakannya. Apakah kita akan mencela
ciptaan Allah ?
Padahal olok-olok, penghinaan,
dan pencelaan akan menyulitkan kita di akhirat kelak. Nabi SAW bersabda,
"Sesungguhnya orang-orang yang memperolok-olok manusia itu, dibukakan
pintu surga bagi salah seorang dari mereka. Lalu dikatakan kepadanya,
"Mari, marilah!" Lalu orang yang memperolok-olokan itu datang dengan
kesusahan dan kegundahannya. Ketika ia datang ke pintu surga itu, lalu pintu
surga itu terkunci buat dia. Maka terus menerus seperti yang demikian, sehingga
pintu itu dibukakan bagi orang tersebut, lalu dikatakan kepadanya. "Mari,
Marilah!", Maka ia tidak datang lagi ke pintu itu". (HR. Ibnu Abi
Dunya).
Maka pastikan, dari mulut kita
tidak keluar kata-kata penghinaan, pencelaan, olok-olok, dan yang sejenisnya.
Pokoknya kalau enggak perlu-perlu amat, jangan bunyi. Wah, kalau begitu nanti
dunia ini sepi dong...
Lho bicara itu tidak
selalu harus pakai mulut, senyum ramah, duduk dengan penuh perhatian, santun,
ini sudah bicara. Cara menunjuk, cara bersila, bagaimana kita bersikap terhadap
pembicaraan orang lain. Itu semua sudah merupakan ribuan kata, bahkan jutaan
kata.
Ingatlah bahwa syarat istiqomahnya hati di jalan ALLAH adalah istiqomahnya lisan. Sabda Nabi SAW, bahwa "Tidak akan istiqomah iman seseorang sebelum istiqamah hatinya, dan tidak akan istiqomah hatinya sebelum istiqamah lisannya". (HR. Ahmad) Subhanallah, maka marilah mulai sekarang kita menjaga dan mengelola lisan kita dengan hanya digunakan sesuai dengan petunjuk Allah dan Rasul-Nya.
Ingatlah bahwa syarat istiqomahnya hati di jalan ALLAH adalah istiqomahnya lisan. Sabda Nabi SAW, bahwa "Tidak akan istiqomah iman seseorang sebelum istiqamah hatinya, dan tidak akan istiqomah hatinya sebelum istiqamah lisannya". (HR. Ahmad) Subhanallah, maka marilah mulai sekarang kita menjaga dan mengelola lisan kita dengan hanya digunakan sesuai dengan petunjuk Allah dan Rasul-Nya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar