Tiada keberuntungan yang sangat besar dalam hidup ini,
kecuali orang yang tidak memiliki sandaran, selain bersandar kepada Allah.
Dengan meyakini bahwa memang Allah-lah yang menguasai segala-galanya; mutlak,
tidak ada satu celah pun yang luput dari kekuasaan Allah, tidak ada satu noktah
sekecil apapun yang luput dari genggaman Allah. Total, sempurna, segala-galanya
Allah yang membuat, Allah yang mengurus, Allah yang menguasai.
Adapun kita, manusia, diberi kebebasan untuk memilih,
"Faalhamaha fujuraha wataqwaaha", "Dan sudah diilhamkan di hati
manusia untuk memilih mana kebaikan dan mana keburukan". Potensi baik dan
potensi buruk telah diberikan, kita tinggal memilih mana yang akan kita
kembangkan dalam hidup ini. Oleh karena itu, jangan salahkan siapapun andaikata
kita termasuk berkelakuan buruk dan terpuruk, kecuali dirinyalah yang memilih
menjadi buruk, naudzubillah.
Sedangkan keberuntungan bagi orang-orang yang
bersandarnya kepada Allah mengakibatkan dunia ini, atau siapapun, terlampau
kecil untuk menjadi sandaran baginya. Sebab, seseorang yang bersandar pada
sebuah tiang akan sangat takut tiangnya diambil, karena dia akan terguling,
akan terjatuh. Bersandar kepada sebuah kursi, takut kursinya diambil. Begitulah
orang-orang yang panik dalam kehidupan ini karena dia bersandar kepada
kedudukannya, bersandar kepada hartanya, bersandar kepada penghasilannya,
bersandar kepada kekuatan fisiknya, bersandar kepada depositonya, atau
sandaran-sandaran yang lainnya.
Padahal, semua yang kita sandari sangat mudah bagi
Allah (mengatakan ‘sangat mudah’ juga ini terlalu kurang etis), atau akan
‘sangat mudah sekali’ bagi Allah mengambil apa saja yang kita sandari. Namun,
andaikata kita hanya bersandar kepada Allah yang menguasai setiap kejadian,
"laa khaufun alaihim walahum yahjanun’, kita tidak pernah akan panik,
Insya Allah.
Jabatan diambil, tak masalah, karena jaminan dari
Allah tidak tergantung jabatan, kedudukan di kantor, di kampus, tapi kedudukan
itu malah memperbudak diri kita, bahkan tidak jarang menjerumuskan dan
menghinakan kita. kita lihat banyak orang terpuruk hina karena jabatannya.
Maka, kalau kita bergantung pada kedudukan atau jabatan, kita akan takut
kehilangannya. Akibatnya, kita akan berusaha mati-matian untuk mengamankannya
dan terkadang sikap kita jadi jauh dari kearifan.
Tapi bagi orang yang bersandar kepada Allah dengan
ikhlas, ‘ya silahkan ... Buat apa bagi saya jabatan, kalau jabatan itu tidak
mendekatkan kepada Allah, tidak membuat saya terhormat dalam pandangan Allah?’
tidak apa-apa jabatan kita kecil dalam pandangan manusia, tapi besar dalam
pandangan Allah karena kita dapat mempertanggungjawabkannya. Tidak apa-apa kita
tidak mendapatkan pujian, penghormatan dari makhluk, tapi mendapat penghormatan
yang besar dari Allah SWT. Percayalah walaupun kita punya gaji 10 juta, tidak
sulit bagi Allah sehingga kita punya kebutuhan 12 juta. Kita punya gaji 15
juta, tapi oleh Allah diberi penyakit seharga 16 juta, sudah tekor itu.
Oleh karena itu, jangan bersandar kepada gaji atau
pula bersandar kepada tabungan. Punya tabungan uang, mudah bagi Allah untuk
mengambilnya. Cukup saja dibuat urusan sehingga kita harus mengganti dan lebih
besar dari tabungan kita. Demi Allah, tidak ada yang harus kita gantungi selain
hanya Allah saja. Punya bapak seorang pejabat, punya kekuasaan, mudah bagi
Allah untuk memberikan penyakit yang membuat bapak kita tidak bisa melakukan
apapun, sehingga jabatannya harus segera digantikan.
Punya suami gagah perkasa. Begitu kokohnya, lalu kita
merasa aman dengan bersandar kepadanya, apa sulitnya bagi Allah membuat sang
suami muntaber, akan sangat sulit berkelahi atau beladiri dalam keadaan
muntaber. Atau Allah mengirimkan nyamuk Aides Aigepty betina, lalu menggigitnya
sehingga terjangkit demam berdarah, maka lemahlah dirinya. Jangankan untuk
membela orang lain, membela dirinya sendiri juga sudah sulit, walaupun ia
seorang jago beladiri karate.
Otak cerdas, tidak layak membuat kita bergantung pada
otak kita. Cukup dengan kepleset menginjak kulit pisang kemudian terjatuh
dengan kepala bagian belakang membentur tembok, bisa geger otak, koma, bahkan
mati.
Semakin kita bergantung pada sesuatu, semakin
diperbudak. Oleh karena itu, para istri jangan terlalu bergantung pada suami.
Karena suami bukanlah pemberi rizki, suami hanya salah satu jalan rizki dari
Allah, suami setiap saat bisa tidak berdaya. Suami pergi ke kanotr, maka
hendaknya istri menitipkannya kepada Allah.
"Wahai Allah, Engkaulah penguasa suami saya.
Titip matanya agar terkendali, titip hartanya andai ada jatah rizki yang halal
berkah bagi kami, tuntun supaya ia bisa ikhtiar di jalan-Mu, hingga berjumpa
dengan keadaan jatah rizkinya yang barokah, tapi kalau tidak ada jatah
rizkinya, tolong diadakan ya Allah, karena Engkaulah yang Maha Pembuka dan
Penutup rizki, jadikan pekerjaannya menjadi amal shaleh."
Insya Allah suami pergei bekerja di back up oleh do’a
sang istri, subhanallah. Sebuah keluarga yang sungguh-sungguh menyandarkan
dirinya hanya kepada Allah. "Wamayatawakkalalallah fahuwa hasbu",
(QS. At Thalaq [65] : 3). Yang hatinya bulat tanpa ada celah, tanpa ada retak,
tanpa ada lubang sedikit pun ; Bulat, total, penuh, hatinya hanya kepada Allah,
maka bakal dicukupi segala kebutuhannya. Allah Maha Pencemburu pada hambanya
yang bergantung kepada makhluk, apalagi bergantung pada benda-benda mati. Mana
mungkin? Sedangkan setiap makhluk ada dalam kekuasaan Allah. "Innallaaha
ala kulli sai in kadir".
Oleh karena itu, harus bagi kita untuk terus menerus
meminimalkan penggantungan. Karena makin banyak bergantung, siap-siap saja
makin banyak kecewa. Sebab yang kita gantungi, "Lahaula wala quwata illa
billaah" (tiada daya dan kekuatan yang dimilikinya kecuali atas kehendak
Allah). Maka, sudah seharusnya hanya kepada Allah sajalah kita menggantungkan,
kita menyandarkan segala sesuatu, dan sekali-kali tidak kepada yang lain, Insya
Allah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar